Nama saya Fidelis Yugita Trio Bagaskoro, seorang siswa SMA
yang baru saja lolos dari uji coba sistem pendidikan negeri ini yang terus
berubah. Saya anak ketiga dari lima bersaudara dari keluarga sederhana dimana
saya diberikan kebahagiaan yang tidak terkira.
Saya dididik dengan baik oleh kedua orang tua saya. Sejak di
Sekolah Dasar saya selalu menjadi peringkat
pertama baik di kelas maupun di
sekolah. Ini hal yang membanggakan saya dan mendorong saya tumbuh menjadi anak
yang besar kepala.
Kesombongan karena merasa diri saya paling pintar mendorong
saya untuk berbuat semena-mena. Ditambah lagi dengan keinginan mencari jati
diri. Tapi saya sadar, seharusnya jati diri itu bukan dicari, tetapi
diciptakan. Di masa SMP selayaknya anak-anak lain, saya sering iseng. Mulai
dari mengisengi teman sendiri, sampai guru pun menjadi korban saya.
Sesungguhnya hal ini bukanlah hal yang patut dibanggakan di depan umum, tapi
cukup saya simpan sebagai kenangan akan masa remaja saya.
Tidak terlalu banyak cerita spesial semasa saya SMP.
Emm, mungkin banyak, tapi tidak se-spesial di masa SMA.
Masa SMA memang masa paling indah.
Masa putih abu-abu, dimana saya sudah mulai dianggap dewasa.
Masa dimana saya belajar arti kebahagiaan, ketulusan,
kejujuran, bahkan kehilangan.
Berawal dari Penerimaan Siswa Baru di sebuah SMA favorit di
pulau kecil kami yang di gerbang masuknya terpampang sebuah kalimat , “Disini
kami menempa diri”. Menempa diri. Ya. Sekolah ini memang terkenal dengan
kedisiplinannya, kecerdasan dan prestasi murid-muridnya terutama di bidang
akademis. Sekolah ini sudah banyak melahirkan orang-orang ternama.
Dan, saya berhasil masuk sekolah favorit itu. Masuk di kelas
reguler, tidak seperti kebanyakan siswa yang memperebutkan kursi di kelas
unggulan, saya cukup puas bisa dapat posisi di kelas reguler. Kelas yang
membuat bakat iseng saya semakin berkembang.
Saya sangat menyukai bidang eksak. Terutama matematika dan
fisika. Tapi sayangnya, guru Fisika yang termasuk guru favorit saya harus
pindah ke sekolah lain. Seperti orang patah hati, saya menjadi malas-malasan
belajar fisika. Bolos, terlambat masuk, semuanya saya lakukan sampai guru-guru
muak, dan memberi “cap” bahwa saya ini tidak lebih dari seorang berandal yang
hanya karena keberuntungan saja dapat masuk sekolah favorit ini.
Tapi hal itu tidak saya pedulikan. Saya justru senang karena
hal itu saya masuk ke jurusan IPS.
Seperti kebanyakan sekolah di Indonesia, sekolah kami pun
cenderung menganut bahwa jurusan IPS adalah jurusan buangan. Jurusan dimana
anak-anak nakal bersekutu. Tapi itu bukan masalah bagi saya.
Malah dari situlah kisah persahabatan yang sesungguhnya saya
dapatkan.
Masuk di kelas XI IPS 4, yang menurut penghuni sekolah kami,
IPS 4 sebagai kelas paling ujung adalah bos dari kumpulan anak-anak nakal,
bodoh, dan hanya bisa untung-untungan jika naik kelas atau lulus dari sekolah
ini. Tapi itu bukan masalah bagi saya.
Malah dari situlah kisah persahabatan yang sesungguhnya saya
dapatkan.
Di kelas ini, saya mendapatkan 2 sahabat yang sudah saya
anggap seperti saudara saya sendiri. Fadli dan Syahdinal. Kami melakukan banyak
hal bersama-sama. Mulai dari bolos bersama, datang terlambat, memanjat pagar
sekolah, dan berbagai keisengan lainnya.
Ternyata perilaku kami mengundang ketidaksenangan dari
kalangan guru dan siswa. Terutama siswa kelas XII waktu itu, yaitu kakak kelas
kami.
Wajar saja, senioritas juga salah satu yang diunggulakn dari
SMA Favorit tempat aku bersekolah ini.
Mulai dari menunjukkan sikap tidak senang yang mengundang
emosi salah satu dari kami. Hingga muncul rasa tidak senang antar angkatan. Ya,
kalian mungkin bisa menebak kisah selanjutnya. Terjadi tawuran antar angkatan.
Dimana Fadli yang benar-benar mengganas saat tawuran berlangsung. Wajar saja.
Ibaratkan membangunkan singa yang sedang tidur. Fadli itu memang mempunyai
keahlian bela diri. Hal itu mengakibatkan tawuran ini berdarah. Namun, tidak
ada korban serius. Sekolah menangani kasus secara internal. Kedua belah pihak
diberi surat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan kami.
Dengan membolos, tawuran, memanjat pagar sekolah, membuat
guru semakin mengganggap kami berandalan. Dan saya kuatir akan tidak naik
kelas.
Tapi nasib tidak mengatakan hal tersebut. Saya, Fadli, dan
Syahdinal berhasil naik kelas karena nilai kami memang mencukupi. Yaah,
walaupun nakal, kami tetap mampu meraih nilai yang walaupun tidak terlalu baik,
namun cukup. Tapi kami bahagia. Biarpun nilai kami kecil, tapi kami meraihnya
dengan usaha kami sendiri.
Saat naik ke kelas XII, saya kembali mendapat bangku untuk
duduk di kelas IPS 4. Sedangkan Fadli di kelas IPS 2, dan Syahdinal di kelas
IPS 1. Sempat terbersit di benak kami untuk berhenti membuat keisengan.
Tapiiii..... tampaknya lebih sulit berhenti untuk iseng daripada soal Ujian
Nasional 2014 yang katanya berstandar Internasional itu..haha
Bulan puasa tiba. Petasan menjadi salah satu hiburan di
bulan puasa yang menurut saya bukan hanya di Belitung saja, tapi juga di tempat
lain.
Petasan juga menjadi media kami diusir dari sekolah favorit
ini.
Kami melakukan tindak keisengan kami dengan mengagetkan
orang lain menggunakan petasan. Yah, kami tahu ini hal yang salah, tapi kami
sebagai remaja, belum tahu yang disebut orang-orang dewasa sebagai “batas
keisengan” atau “batas wajar”. Kami masih menganggap itu hal yang wajar.
Tempat-tempat wisata terdekat menjadi lokasi favorit kami
untuk mengagetkan orang. Sebuah pantai yang terkenal sebagai tongkrongan “gaul”
anak-anak muda belitung. Memang aksi kami sudah kerap kami lakukan di pantai
ini, dan sering dikejar oleh petugas keamanan. Berkali-kali kami dikejar bagai
buronan, berkali-kali juga kami lolos. Sasaran kami sebenarnya hanyalah orang
yang melakukan tindak asusila di kawasan tersebut. Walaupun kawasan wisata ini
aman, tapi tidak terlepas dari banyaknya orang yang memanfaatkan fasilitas yang
disediakan untuk melakukan hal yang tidak senonoh.
Jadi jika kami melihat ada yang seperti itu, kami lempari
dengan petasan. Kami merasa bagai pahlawan yang menyelamatkan orang dari dosa.
Hahaha
Kembali dikejar, dan kami melarikan diri. Hingga kami lelah,
dan salah satu teman kami dari sekolah lain menemukan botol bekas minuman.
Ternyata kelelahan malah membuat otak kami semakin kreatif. Petasan dimasukkan
di dalam botol beling tersebut lalu dilempar. Bunyi yg dihasilkan benar-benar
dahsyat. Hingga kami tidak dapat melarikan diri lagi.....
Laporan disampaikan kepada Kepala Sekolah. Kembali mendapat
surat peringatan untuk kesekian kalinya.
Sayangnya, selembar kertas perjanjian tidak berotoriter atas
keinginan kami untuk iseng. Godaan untuk kembali main petasan. Akhirnya kami
berpindah lokasi.
Kami bermain petasan di sekolah. Ya! Kami meluangkan waktu
selepas berbuka puasa untuk bermain petasan di sekolah. Tapi kami melupakan
satu hal...
Sekolah kami selain favorit manusia, juga menjadi favorit
makhluk astral.
Dan perbuatan kami mengundang kemarahan makhluk-makhluk
tersebut.
Akhirnya, kesurupan masal.
Dan kami kembali menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Kemarahan guru dan kepala sekolah sudah tidak terbendung
lagi.
Saya benar-benar ingat akan hal itu. Hari dimana saya
dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Hari dimana saya, dan Fadli, diusir dari sekolah itu. Konyol
memang rasanya. Siswa SMA di DO dari sekolah karena main petasan. Terakhir kali
sekolah favorit ini mendepak siswanya, karena siswa tersebut membuat proposal
palsu yang nyaris saja menipu DIndikbud hingga berjuta-juta rupiah.
Itu kriminal. Tapi ini? Kenakalan Remaja? Kasus ini terlalu
remeh untuk digolongkan sebagai kenakalan remaja. Keisengan remaja tepatnya.
Ada banyak kakak kelas, teman seangkatan, adik kelas yang
perilakunya di luar lingkungan sekolah kelakuannya lebih parah dari kami. Rokok
dan miras sahabat mereka.
Ini hanya bermain PETASAN. Konyol kan?
Yah tapi bagaimanapun juga tetap saja kami yang bersalah.
Fadli menerima saja keputusan itu. Ia langsung mengurus
kepindahannya ke sekolah lain.
Tapi saya tidak. Saya malu. Kecewa pada diri sendiri. Kecewa
karena bukannya membanggakan orang tua, malah menorehkan malu di wajah mereka.
Dari kejadian itulah saya melihat. Bahwa orang tua,
keluarga, adalah orang-orang yang tetap mengasihi saya, apapun yang telah saya
lakukan. Bahkan disaat saya diusir dari sekolah, Ayah saya tetap jaid orang
yang terus melindungi saya dan men-support saya.
Atas jasa seorang anggota legislatif, saya kembali diberi
kesempatan untuk melanjutkan di sekolah saya. Saya tidak akan melupakan jasa
Anda, Pak.
Kehilangan seorang sahabat. Dicap berandalan. Dimusuhi guru.
Dianggap tak ada saat dalam kelas. Menjadi bulan-bulanan guru baik di kelas
maupun di muka umum. Saya mengalami itu semua.
Tapi sakit yang saya alami waktu itu, tidak menjatuhkan
saya.. Malah membuat sebuah tekad dalam hati saya. Saya akan membuktikan bahwa
saya tidak seburuk yang guru-guru anggap. Saya juga ingin membuktikan bahwa
“nakal” dan “jahat” adalah dua hal yang berbeda.
Terlebih lagi di balik semua itu, masih ada seorang guru
yang tidak pernah menganggap saya rendah. Beliau adalah Ibu Rosilawati, Guru
matematika, sekaligus guru favorit saya. Karena beliau selalu menilai secara
objektif. Tidak pernah subjektif. Berbeda dengan guru-guru lain yang selalu
memberi cap bahwa tidak ada yang bisa dibanggakan dari diri saya selain
prestasi keisengan.
Saya mulai belajar dengan baik.Mulai dari jam pelajaran
tambahan di sekolah, bimbel di luar sekolah, sampai belajar kelompok saya lakukan.
Hanya untuk satu target, yaitu UN. Pikiran saya, jika saya berhasil di UN, maka
tidak ada lagi yang bisa meremehkan saya.
Singkat cerita, UN pun tiba, saya berharap banyak pada UN.
Inilah media terakhir dan kesempatan terakhir saya untuk memperbaiki citra
diri, dan menghilangkan stigma mengenai anak nakal itu bodoh.
Diantara enam mata pelajaran yang diujiankan, saya
benar-benar menargetkan untuk mendapat nilai sempurna di mata pelajaran
matematika. Namun, kenyataan tak semanis harapan. 5 dari 40 soal harus
menganggur sementara, karena saya tidak berhasil menemukan jawabannya. Tapi
saya terus berusaha. Semampu saya. Saya terus dimotivasi oleh keinginan hati
saya untuk lebih teliti.
3 dari 5 soal berhasil dijawab. Waktu semakin berkurang dan
masih ada 2 soal yang tersisa. Berkutat dengan kedua soal tersebut. Tiba-tiba
seperti ada bohlam yg menyala dalam otak saya. Ting! Satu soal terjawab.
Tersisa satu soal. Waktu tinggal sedikit. Saya mulai pasrah. Akhirnya saya
mencari jawaban terdekat dengan hasil hitungan saya.
UN berakhir. Dan segera saya melupakan segala soal itu, dan
hanya bisa berdoa agar Tuhan membantu saya untuk mendapatkan nilai terbaik.
20 Mei 2014. Kembali mengenakan putih abu-abu untuk
pengumuman kelulusan. Optimis akan lulus. Tapi ragu dengan nilai yang
diperoleh.
09.00 WIB, semua orang tua sudah hadir dan berkumpul di aula
sekolah. Kata sambutan, sosialisasi singkat tentang PTN menjadi acara selingan.
Tidak peduli 197 siswa SMA itu sedang menanti kabar.
100% lulus.
Saya sedikit tenang.. Tapi bagaimana nilai?
Mulai dibacakan nama-nama peringkat tertinggi di sekolah.
Saya hanya bisa berdoa agar perjuangan saya tidak sia-sia. Hingga sebuah kabar
saya dapat..
“Satu siswa dari SMA Negeri 1 Tanjungpandan berhasil meraih
nilai sempurna untuk mata pelajaran Matematika dari jurusan IPS di kabupaten
Belitung. Atas nama Fidelis Yugita Trio Bagaskoro”
Tepuk tangan membahana di ruang aula.
Perasaan saya campur aduk. Saya larut dalam euforia
kebahagiaan dan kebanggaan. Bangga.
Bangga luar biasa. Bahagia. Euforia itu tidak akan pernah
saya lupakan. Satu persatu sahabat dan teman-teman menyalami saya. Saya
bagaikan seorang pemain sepakbola yang baru saja berhasil mencetak gol ke
gawang lawan.
Guru-guru yang selama ini meremehkan saya. Bahkan mengusir
saya dari sekolah ini hanya tertunduk.
Saya bukan bermaksud sombong. Tapi, akhirnya, Pak, Bu.. Saya
bisa membuktikan bahwa saya tidak seburuk yang kalian kira. Saya mungkin nakal,
tapi saya akhirnya bisa membanggakan orang-orang di sekitar saya.
Tidak hanya orang tua dan keluarga. Bahkan saya membanggakan
nama sekolah.
Saya sangat berharap, orang-orang umunya dan khususnya
guru-guru tidak lagi menilai kemampuan siswa dari penampilan atau kelakuannya.
Tidak lagi memberi stigma yang seakan mengadili kami jika
kami berbuat kesalahan.
Kami tidak akan bisa memperbaiki kelakuan kami jika kalian
hanya terus mengadili kami, tanpa membimbing kami untuk lebih baik lagi.
Pak, Bu, zaman sudah berbeda, kami tak dapat lagi dididik
dengan kekerasan atau ancaman. Bentuklah kami sesuai karakter kami
masing-masing. Jika Bapak dan Ibu menilai kami nakal akibat zaman, ya memang
benar bu. Kami terlahir di generasi yang salah. Generasi yang diracuni media.
Kami berharap bisa menjadi pelurus bagi generasi kami dan
bagi bangsa ini. Sebab jika bukan kami siapa lagi?
Oleh sebab itu, kami tidak akan bisa memperbaiki kelakuan
kami jika kalian hanya terus mengadili kami, tanpa membimbing kami untuk lebih
baik lagi. Karena jujur saja, kalianlah orang tua kedua bagi kami.
Bahkan terkadang kami lebih percaya omongan kalian daripada
orang tua kami sendiri.
Bimbinglah kami seperti kalian membimbing dan mendidik anak
kalian sendiri.
Tegurlah kami jika salah. Tegur dan koreksi kami. Jangan
hanya menegur dan menjadi komentator akan kelakuan kami.
Mungkin bagi pembaca kisah saya ini tampak biasa-biasa saja.
Tapi percayalah, di luar sana ada banyak anak yg mengalami hal yang sama
seperti saya. Ada banyak korban pendidikan negeri ini yang di cap bodoh karena
tidak handal di bidang saintek. Di cap berandal karena sering iseng. Padahal
iseng dan jahat adalah dua hal yang benar-benar berbeda pada praktiknya.
Sekian yang bisa saya ceritakan tentang kisah saya.
TTd, Anak nakal yang bertekad besar.
FACEBOOK 3 Sahabat Ini Kawan :
0 komentar:
Post a Comment
Mohon kritik dan sarannya ..
Kritik dari anda sangat berguna untuk perkembangan blog ini ...